Menyuarakan Ketidakadilan dalam Puisi Wiji Thukul

 PERINGATAN

Wiji Thukul

 

Jika rakyat pergi

Ketika penguasa pidato

Kita harus hati-hati

Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi

Dan berbisik-bisik

Ketika membicarakan masalahnya sendiri

Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh

Itu artinya sudah gasat

Dan bila omongan penguasa

Tidak boleh dibantah

Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

Maka hanya ada satu kata: lawan!

 

DI BAWAH SELIMUT KEDAMAIAN PALSU

Wiji Thukul

 

Apa guna punya ilmu

Kalau hanya untuk mengibuli

Apa gunanya banyak baca buku

Kalau mulut kau bungkam melulu

Di mana-mana moncong senjata

Berdiri gagah

Kongkalikong

Dengan kaum cukong

Di desa-desa

Rakyat dipaksa

Menjual tanah

Tapi, tapi, tapi, tapi

Dengan harga murah

Apa guna banyak baca buku

Kalau mulut kau bungkam melulu

 

Memasuki bulan Mei, kita tak asing lagi untuk menghadapi May Day. Sebuah sebutan untuk sekelompok atau individu dalam memperingati hari buruh yang jatuh pada tanggal 1 Mei. Pada kegiatan itu biasanya diisi dengan aksi-aksi unjuk rasa untuk menuntut kehidupan yang lebih layak. Para buruh biasanya beraksi di tempat atau lembaga pemerintah. Namun, sebagian juga biasanya beraksi di tempat mereka bekerja.

Berbicara tentang ‘buruh’, maka kita pasti ingat dengan sosok pejuang buruh sekaligus penyair yang bernama Wiji Thukul. Berdasarkan catatan sejarahnya, hingga sekarang ia tak diketahui keberadaannya. Konon katanya ia hilang karena diculik oleh militer zaman rezim Orde Baru. Wiji Thukul mengungkapkan bentuk ketidakpuasan pada zaman tersebut dalam bentuk puisi. Banyak puisi-puisi Wiji Thukul yang menggambarkan atas ketidakadilan pada era kepemimpinan zaman Orde Baru. Termasuk dua puisi yang akan kita bahas kali ini.

Puisi dengan judul Peringatan dan Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu. Setelah membaca dua puisi tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa makna dari kedua puisi tersebut merupakan sebuah bentuk proses atas ketidakpuasan pimpinan rezim pemerintah Orde Baru. Selain itu, dapat juga disimpulkan bahwa kedua puisi tersebut sangat sesuai dengan kehidupan pada masa itu. Hal inilah yang menjadikan kedua puisi tersebut sebagai karya yang baik karena memiliki fungsi akan pengalaman hidup dan membangkitkan tanggapan khusus pembacanya.

Pada puisi yang berjudul Peringatan, kita akan disajikan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan. Misalnya saja dari judul puisinya. Kata ‘peringatan’ memiliki arti nasihat atau teguran. Dapat dibayangkan bahwa puisi tersebut berarti mengandung banyak nasihat atau teguran. Namun, nasihat atau teguran dalam bentuk apa? Hal inilah yang memunculkan tanya di dalam benak pembaca. Setelah membaca keseluruhan puisi tersebut, maka dapat dimaknai bahwa puisi tersebut merupakan peringatan yang ditujukan kepada pimpinan rezim Orde Baru.

Penyair mengungkapkan bahwa kepimpinan saat itu sangat digdaya dan berkuasa semena-mena. Mereka lupa bahwa rakyat adalah objek yang dibutuhkan dalam kepemimpinan. Tak hanya itu, sebenarnya rakyatlah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Pemimpin hanya berpikir bahwa rakyat tidak boleh membantah peraturan karena akan mendapatkan sanksi tegas. Tetapi sebuah kebenaran tidak boleh disembunyikan. Rakyat akan langsung bergerak apabila usul dan pendapatnya dibungkam. Pada akhir baris puisi tersebut, terdapat sebuah kalimat yang memiliki makna mendalam dan seringkali diucapkan saat berunjuk rasa. Ya, “Maka hanya ada satu kata:lawan!”

Tidak hanya itu, pada puisi kedua yang berjudul Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu, memiliki makna yang sama yakni sebuah pengungkapan atas ketidakpuasan dan menganggap bahwa pemerintah Orde Baru tidak adil dalam memimpin pemerintahannya. Penyair sangat lantang menjelaskan keresahannya yang dikemas dalam bentuk sindiran. Ya, dalam puisi tersebut penyair mengungkapkan bahwa pemimpin tidak mencerminkan pangkat dan jabatan yang telah diembannya. Isi otak dan sikapnya tak selaras. Mereka dikenal memiliki banyak ilmu, tetapi tidak dimanfaatkan dengan layak. Hanya mengandalkan senjata untuk mengelabuhi rakyat agar patuh dan taat atas perintahnya. Sungguh tidak mencerminkan pimpinan intelektual.

Berdasarkan kedua puisi yang disajikan oleh Wiji Thukul tersebut memang benar-benar menarik. Tak hanya itu, karya tersebut juga dapat memiliki daya jual yang tinggi. Penyair sangat cerdik dalam menggunakan pilihan kata untuk menyuarakan rasa keresahannya saat itu hingga pembaca juga merasakan rasa kesal ketika membacanya. Penyair juga berhasil menunjukkan bahwa karya sastra selain memiliki nilai estetis, juga memiliki fungsi sebagai alat untuk menyuarakan pendapat. Padahal, pada pemerintahan kala itu memang sangat dikenal bahwa pemimpin tidak boleh dikritik. Tetapi, dengan rasa kebenaran yang dimilikinya, Wiji Thukul berani mengungkapkan suaranya meskipun hal tersebut sangat mengancam dirinya. Alhasil, dari tahun 1998 hingga saat ini, keberadaannya tak memunculkan titik terang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengupas Lebih Dalam Puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia Karya Taufik Ismail

Mendongkrak Paradigma Feminisme Cerpen Tahi Lalat Karya M. Shoim Anwar

Semarak Hari Raya dalam Puisi Idul Fitri Karya Sutardji Calzoum Bachri