Bentuk Kritik Sosial dalam 5 Cerpen Karya M. Shoim Anwar
Berbicara
mengenai karya sastra pasti tak bisa lepas dari awal mula kenapa karya tersebut
diciptakan. Setiap karya sastra memiliki nilai masing-masing. Nilai-nilai
tersebut berupa kekaguman, ketuhanan, dan bahkan kritikan. Hal tersebut
tergantung pada fenomena apa yang sedang ditangkap oleh sang pencipta. Memang
ketika membahas sebuah karya sastra pastilah kita akan membicarakan sebuah
produk pemikiran, ide, dan gagasan dari penciptanya. Misalnya seperti puisi dari Wiji Thukul yang
berjudul Peringatan. Pada puisi tersebut membicarakan sebuah ketidakpuasan pada
masa tahun puisi itu tercipta.
Artinya,
karya sastra adalah sebuah produk yang tepat untuk menuangkan segala bentuk
pemikiran ke dalam kemasan kata-kata yang disusun dengan indah. Namun, tidak
hanya karya sastra bentuk puisi, adapula yang berbentuk novel dan cerpen.
Seperti cerpen yang akan kita ulas kali ini. Cerpen tersebut karya M. Shoim
Anwar yang berjudul Sorot Mata Syaila, Tahi Lalat, Sepatu
Jinjit Arianti, Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue, dan Jangan ke
Istana, anakku. Kelima cerpen tersebut jika diurai satu-persatu pasti memiliki
rohnya tersendiri.
Setiap
cerpen juga memiliki alur yang menarik. Alur maju mundur yang dikombinasikan
begitu mengagumkan. Tak hanya itu, setiap cerpen juga memiliki kisahnya sendiri
kenapa cerpen itu ditulis/diciptakan. Pastinya sang pencipta memiliki keresahan
sendiri yang dituangkan dalam setiap cerpennya. Namun jika ditarik menjadi satu
rangkaian, kelima cerpen tersebut menunjukan adanya keterkaitan satu sama lain.
Berdasarkan hal tersebut, saya melihat kejelian sang penulis yang begitu
mengagumkan. Pria kelahiran Jombang tersebut memang bisa dikatakan sebagai
sastrawan yang sudah banyak menghasilkan karya sastra. Baik berbentuk cerpen, novel,
puisi dan juga esai.
Kelima
cerpen tersebut apabila dihubungkan menjadi satu kesatuan tentunya ditemukan kesamaan,
yakni bercerita mengenai kritik sosial. Setiap cerpen memiliki kritik sosialnya
yang berbeda-beda dan bahkan ada yang sama. Sebelum kita jauh berbicara tentang
kritik sosial tersebut, mari kita urai cerpennya satu persatu. Pada cerpen
Sorot Maya Syaila menceritakan tentang seorang laki-laki yang bernama Matalir
ingin melanjutkan perjalanan ke Dubai. Saat ia sedang berada di bandara Abu
Dabi dan ingin melanjutkan perjalanan ke Dubai, ia bertemu dengan seorang
perempuan yang cantik nan mempesona. Perempuan tersebut bernama Syaila.
Setiap
perjalanan Matalir selalu memikirkan tentang Syaila, betapa cantiknya Syaila.
Tidak hanya itu, ia juga memikirkan perempuan yang berada dalam pesawat
tersebut. Mulai dari penampilan pramugari yang terbuka, penampilan Syaila dengan
sedikit terbuka namun cukup tertutup, dan perempuan-perempuan arab yang
pakaiannya mesti tertutup rapat. Saat merenungkan gaya berpakain Syaila, Matalir
sepintas berpikir alasan kenapa ia pergi ke Dubai. Perjalanan itu dilakukan
guna mangkir dari penyidik di negaranya. Hal itu dilakukan karena kasus
kongkalikong dan pencucian uang yang dilakukannya. Tidak hanya Matalir, seluruh
keluarganya juga ikut terkena dampaknya. Ia berdalih menunaikan ibadah haji
sebagai alasan pergi ke Dubai.
Saat
perjalanan di pesawat dan suasana semakin malam, Matalir melihat Syaila
beranjak pergi. Matalir yang melihatnya lalu melakukuan pengejaran. Sembari mengejar,
Matalir terus memanggil nama Syaila. Syaila pun menoleh dan seolah-olah
melambaikan tangan. Hingga jarak antara keduanya semakin mendekat, tiba-tiba
Syaila menghilang di gelapnya malam. Saat itu Matalir tersadar, ada yang
memanggil-manggil namanya. Saat itu pula ia melihat lantai yang basah dan menatap
ke atas. Ternyata kedua istri dan anak-anaknya tak berdaya tergantung di atas.
Tak percaya dengan apa yang dilihat, keluarganya mati dan Matalir tak berdaya
atas hal itu.
Pada
cerpen Sorot Mata Syaila, cerita yang dikemas dengan begitu mengaggumkan.
Ketika membacanya saya menemukan sebuah kritik sosial yang kental dari cerpen
tersebut. Pertama kritik sosial mengenai kebebasan dalam berpaikan seorang
perempuan. Kita saat ini yang selalu membatasi/menganggap perempuan haruslah
berpakaian rapi dan tertutup. Hal itu bisa mengurangi/mencegah pelecehan
seksual pada perempuan. Sampai saat ini, sebenarnya ada benarnya juga. Namun
bukankah seorang perempuan berpakaian yang nyaman sesuai dengan kehendaknya,
tetapi justru untuk menarik perhatian laki-laki. Hal inilah yang ingin
disampaikan oleh penulis cerpen tersebut. Hal itu bisa dilihat dari kutipan
cerpen berikut ini.
Perempuan dari segala
penjuru dunia memang boleh datang ke Abu Dhabi. Mereka tidak sedikit yang
memakai celana pendek dan kaus oblong. Agak kontras dengan mereka yang memakai
cadar. Perempuan muda berhijab dengan wajah terbuka juga lazim dijumpai. Para
pramugari milik negeri ini malah memakai span ketat di atas lutut dan baret
dengan rambut terbuka. Meski tidak bercadar, pakaian Syaila bagiku sudah nyaris
sempurna menutup tubuhnya.
Pada
kutipan tersebut menunjukan bahwa kebebasan ialah milik semua orang, termasuk juga
perempuan. Artinya perempuan memiliki kebebasan dalam berpakaian. Selama
kebebasan itu tidak merugikan dan menyinggung orang lain. Hal itu sah-sah saja.
Menurut saya kutipan tersebut merupakan bentuk ketebukaan pemikiran oleh
penulis yang disematkan melalui tokoh Matalir.
Berikutnya
yakni kritik sosial perilaku korupsi. Korupsi memang muncul dari adanya kebiasaan
buruk yang lama-lama menjadi sebuah budaya baru, menjamur dan sangat berbahaya.
Banyak sekali pegiat antikorupsi, seperti lembaga, LSM, dan individu telah melakukan
segala macam cara untuk menghacurkan/menghilangkan perilaku korupsi. Termasuk juga
para sastrawan yang ikut gencar menyampaikan kritik antikorupsi melalui sebuah karya.
Cerpen tersebut juga menyindir perilaku korupsi yang begitu menjijikkan. Perilaku
korupsi pada cerpen tersebut adalah tentang pencucian uang dan kongkalikong (barang
tentu terjadi penyuapan). Sungguh cerpen tersebut memuat kritikan tersirat yang
dikemas begitu rapi. Hal itu bisa dilihat dari kutipan cerpen beritkut ini.
Perkara ini tidak
melibatkan aku seorang diri. Seluruh keluarga, istri dan anak-anak, juga
diperiksa karena diduga teraliri dana dalam bentuk kepemilikan saham
perusahaan. Si alan, seorang teman anggota parlemen yang menjadi terdakwa “menyanyi”
saat di persidangan, termasuk mengungkap liku-liku pemenangan tender yang telah
kami skenariokan untuk perusahaan keluarga. Pengakuan itu bahkan telah masuk
dalam berita acara peme riksaan alias BAP. Jumlah kerugian uang negara juga
telah disebut.
Pada
kutipan tersebut penulis ingin menujukan bahwa korupsi telah menelan
sendi-sendi kehidupan kita. Korupsi telah menjamur dan hidup tanpa malu di sekitar
kita. Penulis ingin memberikan sebuah gambaran korupsi itu ada berbagai macam
bentuk dan intrik. Bebicara korupsi, sampai saat ini tentu masih ditemukan
banyak sekali perkara. Penulis ingin memberikan kesadaran kepada pembaca bahwa
semua orang harusnya menjauh dari korupsi itu sendiri.
Cerpen
berikutnya yakni Tahi lalat. Cerpen Tahi Lalat sendiri menceritakan tentang
tokoh Aku yang membicarakan Istri seorang Lurah yang haus kekuasaan dan ingkar
terhadap janjinya. Cerpen Tahi
Lalat karya M. Shoim Anwar mengisahkan tentang gejolak kerisauan
masyarakat terhadap pemimpin desanya yang tidak berpegang teguh pada
prinsipnya. Apalagi ditambahi dengan desas-desus mengenai keadaan istrinya.
Tersiar kabar bahwa istri sang kepala desa memiliki tahi lalat di dadanya.
Entah di sebelah mana, di bagian kiri atau kanan, masyarakat hanya mengetahui
sekilas saja. Hal tersebut justru dimanfaatkan masyarakat untuk menyebar gosip
miring mengingat sang kepala desa akan mencalonkan lagi di periode selanjutnya.
Tokoh “aku” di sini ingin membuktikan kebenaran gosip tersebut dengan menyuruh
istrinya untuk mencari tahu kebenarannya. Hal tersebut membuatnya risau,
apalagi anaknya sendiri yang duduk di kelas 2 sekolah dasar pun juga tahu mengenai
gosip tersebut.
Pada
cerpen tersebut terdapat kritik sosial. Kritik sosial tersebut berupa sindiran
mengenai kekuasaan. Memang benar suatu waktu orang bijak mengatakan bahwa apabila
kekuasaan berlangsung cukup lama, maka akan cenderung korup. Kritik sosial
tentang kekuasaan itu sendiri mengenai kekuasaan yang membabi buta. Hal
tersebut bisa dilihat dari kutipan berikut ini.
Jujur kukatakan, Pak
Lurah juga sering menggunakan cara-cara kotor. Selama menjabat, tidak sedikit
warga yang kehilangan sawah ladang dan berganti dengan perumahan mewah. Warga
yang tinggal di tempat strategis, melalui perangkat desa Pak Bayan, dirayu untuk
menjual tanahnya dengan harga yang lumayan mahal. Begitu tanah-tanah yang
strategis itu terlepas dari pemiliknya, Pak Lurah semakin gencar membujuk yang
lain dengan cara memanggilnya ke kantor kelurahan.
Pada
kutipan tersebut menunujukan betapa kekuasan itu telah menjadi sebuah bentuk
kerakusan yang amat buruk. Lihat saja bagaimana seorang lurah yang menggunakan berbagai
cara demi mendapatkan tanah dari warganya. Sebuah sistem keskuasaan yang
ambisius dan rakus. Adapula kutipan di bawah ini yang menunjukkan bahwa
kekuasaan dan relasi kuasa yang begitu buruk.
Jeep yang tadi berhenti
tampak bergerak. Sepertinya gas ditancap sehingga melaju terguncang-guncang di
jalan yang bergeronjal. Debu-debu membalutnya. Terasa ada yang aneh. Kendaraan
itu melaju makin kencang di sisi kanan. Ternyata Jeep itu menggasakku. Spontan
aku meloncat ke seberang parit. Aku tak tahu siapa pengendaranya. Cuk! Tubuhku
terjatuh ke rumpun bambu. Duri-duri tajam menancap di sana-sini. Aku berdarah-darah.
Berdasarkan
kutipan cerpen tersebut menunjukan bahwa sebuah sistem kuasa yang begitu
ambisius. Kekuasaan tersebut mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Kekuasaan
yang menggunakan relasi kuasa guna menggunakan teror-teror kepada warganya demi
melanggengkan kekuasaan dan mendapatkan apa yang diinginkan. Hal ini tentu
sering terjadi pada kehidupan saat ini.
Pada
cerpen selanjutnya yakni Sepatu Jinjit Ariyanti. Cerpen tersebut mengisahakan
tentang tokoh aku yang berada di Negeri Johor bersama dengan seorang perempuan.
Perempuan tersebut bernama Ariyanti. Kepergian ke Johor itu dilakukan karena
Ariyanti merupakan saksi utama dalam sebuah persengkongkolan. Persekongkolan
tersebut mengenai kasus pembunuhan orang penting. Tokoh aku termasuk dalam
lingkaran persengkongkolan tersebut. Seiring berjalannya waktu, muncul benih asmara
di antara keduanya. Namun, pada suatu ketika tempat yang mereka tinggali
didatangi oleh seseorang dari negaranya. Mereka akan dibawa ke bandara untuk
pulang. Sesampai di negara asalnya, mereka kemudian dibawa ke sebuah tempat di
Balikpapan untuk dihabisi.
Pada
cerpen tersebut terdapat sebuah kritik sosial. Kritik sosial tersebut ialah
kritik sosial tentang kekuasaan. Seperti cerpen sebelumnya, kekuasaan dan
relasinya begitu ambisius dan mengesampingkan kemanusiaan. Hal tersebut dapat
dilihat dari kutipan cerpen berikut ini.
Aku adalah bagian dari
persekongkolan itu. Tapi aku dalam posisi tak berdaya karena perintah atasan
yang tak boleh ditolak. Aku tetaplah seorang manusia yang mempunyai pikiran dan
rasa yang waras. Aryanti tentu juga demikian. Dia dalam posisi tak berdaya.
Memang aku dan Aryanti adalah bagian dari pelaku persekongkolan itu.
Tapi, dan inilah
sebenarnya, kami berdua tidak lain adalah objek. Apa yang kami lakukan bukanlah
untuk kepentingan kami sendiri. Yang lebih menderita tentu Aryanti karena tak
boleh berkomunikasi dengan keluarga dan teman-temannya. Jalur komunikasinya
telah disadap dengan sempurna. Dalam tubuhnya seperti telah ditanami microchip
sehingga pergerakannya bisa dipantau melalui layar monitor.
Pada
kutipan cerpen di atas menunjukan betapa buruknya sebuah sistem kuasa dan
relasi sebuah pemerintahan. Setiap orang atau siapapun itu bisa dijadikan budak
demi mendapatkan tujuannya. Bahkan tidak peduli jika nyawa orang yang harus
disingkirkan adalah orang yang paling dicintai. Hal ini menujukan betapa buruk
sebuah sistem kuasa yang ada. Apakah sampai saat ini ada? Saya katakan tentu
masih ada. Contoh kecil menurut saya adalah hilangnya nyawa aktivis HAM, yaitu Munir.
Tak hanya itu saja, tentunya masih banyak lagi kejadian serupa.
Cerpen
berikutnya yakni Bambi dan Perempuan
Berselendang Baby Blue. Cerpen ini sendiri bercerita tentang seorang
perempuan yang bernama Anik. Ia sedang berada di sebuah lantai dansa untuk
mencari seorang yang bernama Bambi. Pada pesta dansa tersebut, ia akhirnya
bertemu dengan Bambi. Bambi bersama dengan seorang perempuan cantik dan masih
muda. Perempuan itu dikenalkan Bambi dengan nama Miske. Pada saat kondisi sepi,
Bambi pergi ke kamar mandi dan Anik ternyata mengikutinya. Saat di kamar mandi,
mereka membicarakan kasus yang dialami Anik dan Bambi berjanji untuk
memenangkan kasus tersebut. Namun ternyata hanya omong kosong belaka. Anik pun marah,
ternyata ia hanya dipermainkan oleh Bambi. Perempuan bernama Miske tadi sebenarnya
adalah anak dari lawan Anik di pengadilan yang memiliki nama asli, Kirana.
Pada
cerpen tersebut ditemukan kritik sosial tentang korupsi. Tentu perilaku ini begitu
menjijikkan. Kritikan tentang korupsi ini memang wajib dan harus dikemukakan
oleh para sastrawan sebab mereka adalah orang yang bekerja dengan pikiran dan
hati sekaligus. Pada cerpen tersebut, perilaku korupsi yang ditunjukan adalah
bagaimana desas-desus hubungan lurah dengan pengembang proyek. Kondisi seperti
itu masih sering terjadi sampai saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dari
kutipan cerpen berikut ini.
“Aku ingin bicara,”
kata saya di mulut toilet.
“Bicara apa?” Bambi
mengarahkan pandangan ke muka saya.
“Putusanmu. Mengapa aku
kau kalahkan?”
“Aku
sudah mengusahakan agar kau yang menang di pengadilan, tapi tak ada dissenting
opinion.”
“Bagaimana ada, wong
hakim tunggal, cuma kamu saja!”
“Sudah saya mintakan
pendapat di luar sidang.”
“Yang
mimpin sidang kan kamu. Dengan hakim tunggal mestinya kau bisa putuskan sesuai
janjimu!”
Bambi tampak sangat
tidak nyaman. Wajahnya memerah, dia lihat ke segala arah. Sengaja saya
menghadang langkahnya agar tidak menghindar. Saya pun sengaja mengeraskan suara
agar didengar banyak orang.
“Pengacara tergugat
pintar. Dia bisa menggugurkan tuntutan jaksa.”
“Tapi
mengapa dulu kamu mendorong-dorong aku agar menggugat perkara itu. Kamu
panas-panasi aku. kamu menjanjikan akan memenangkan aku. Terus untuk apa kamu
minta uang segitu banyak yang katany auntuk minta tolong pada anggota majelis
lainnya? Kau bagikan pada siapa saja uang itu? Atau kau nikmati sendiri?”
“Jangan
bicara seperti itu. Kamu bisa dikenakan pasa perbuatan tidak menyenangkan dan
mencemarkan nama baik.”
“Aku
tidak bodoh. Saat penyerahan uang itu di rumah, aku sudah pasang CCTV agar bisa
merekam semuanya. Sudah telanjur basah.”
Bambi sontak
terperangan lagi, wajahnya warna bunga waribang. Dia berusaha lepas dari
blockade. Saya menghalanginya dengan merentangkan tangan.
“Kamu bisa banding
kalau tidak puas,” katanya kemudian.
“Itu rusan nanti!”
“Masih ada waktu tiga
hari,” Bambi mengacungkan jarinya.
“Di pengadilan tinggi
yang ngurusi sudah beda. Omongnya saja bisa memenangkan kasus. Mana buktinya?
Gombal!
Pada
kutipan tersebut menunjukan bahwa korupsi memang hal yang begitu biasa dan
sering terjadi. Bagaimana cara menyuap dan besengkongkol guna mendapatkan
tujuan demi menang dalam sebuah persidangan dapat dilihat dari cerpen tersebut.
Hal ini memang sering terjadi. Korupsi datang pada siapapun asal ada waktu dan
tempat yang memberi kesempatan. Pada cerpen tersebut penulis ini menegaskan bahwa
koruptor selalu memiliki celah untuk melakukan aksinya. Melalui cerpen tersebut,
penulis ingin memberikan makna tersirat bahwa korupsi merupakan sebuah hal yang
menjijikkan.
Cerpen
yang terahir yakni Jangan ke Istana,
Anakku. Cerpen tersebut mengisahkan tentang seorang papa dan anaknya.
Mereka berdua dipisahkan dari sosok ibu. Hal itu dilakukan oleh pihak istana. Keduanya
berpisah dengan ibuk/istri sejak sang anak masih kecil dan tak pernah kembali
lagi. Tersirat kabar bahwa pihak istana melakukan pencarian perempuan tersebut untuk
dijadikan wadal. Terdengar pula kabar ibu/istri dari papa dan anak itu dijadikan
penari kemudian dijadikan wadal. Tiba suatu ketika, sang papa melihat anaknya
masuk ke dalam istana. Hatinya hancur dan penuh marah pada istana beserta
isinya ketika melihat seluruh anggota keluarganya telah hilang dan sirna.
Pada
cerpen tersebut menunjukkan adanya kritik sosial kekuasaan. Cerpen tersebut
menggambarkan bahwa kekuasaan digunakan dengan berbagai macam cara guna melangggengkan
jabatannya. Tidak hanya itu kekuasaan juga menujukkan relasi jabatannya
sehingga hilang rasa empati dan nurani. Bagaimana tidak, nyawa lebih murah
daripada jabatan dan harta. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut
ini.
Perihal penari istana
memang sudah banyak yang mendengar. Orang-orang suruhan istana juga kelayapan
mencari para perempuan cantik untuk dibawa ke istana dengan dalih mau dijadikan
penari, khusus menghibur keluarga istana beserta tamu-tamu agungnya. Sesekali
memang terdengar alunan gending dari dalam istana. Tapi hingga kini
perempuan-perempuan cantik itu tak ada yang kembali ke desanya. Kabar
mengerikan malah menyeruak, konon perempuan-perempuan cantik itu dijadikan
wadal alias tumbal istana, dimasukkan ke sumur lorong gelap bawah tanah yang
dihuni Nyi Blorong peliharaan istana. Konon, di malam Rabu Kliwon, ketika
gending terdengar di tengah malam disertai bau kembang dan kemenyan, saat
itulah waktunya wadal diumpankan. Paginya, burung-burung gagak beterbangan di
genting istana, berkaok-kaok memberi isyarat melengking-lengking. Adakah dia
mencium darah dari sisa korban di lorong gelap bawah tanah?
Pada
kutipan tersebut sungguh sangat jelas bahwa kekuasaan itu ambisisus dan tak
berempati. Kekuasaan seperti ini ialah kekuasaan yang menjijikkan dan kotor.
Bahkan menyangkut sebuah nyawa. Apalagi nyawa seorang perempuan. Hal ini
seperti nyawa binatang yang tak ada harganya. Artinya, begitu gampang nyawa seseorang
menghilang demi harta dan kekuasaan. Inilah sebuah kritik sosial yang ditunjukkan
penulis melalui kemasan rapi dalam sebuah cerpen.
Berdasarkan
kelima cerpen tersebut dapat disimpulkan bahwa semua cerpen syarat akan sebuah
kritik sosial. Pada hal ini akan tampak fungsi dari karya sastra, yaitu
menceritakan sesuatu yang sedang terjadi namun dibungkus dengan kata-kata dan
sedikit fiksi sebagai makna simbolik agar menarik pembaca. Karya sastra memang
tidak bisa dijauhkan dari lingkungan sekitar. Karya sastra dan lingkungan adalah
satu bentuk kesatuan. Kelima cerpen ini begitu menarik jika dihubungkan. Terlebih
sangat cocok dalam suasana kali ini. Pada masa pandemi banyak ditemukan carut-marut
sebuah sistem pemerintahan. Tak habis pikir, bisa-bisanya dalam suasana genting
seperti ini masih ditemukan korupsi dana bansos. Sungguh sebuah perbuatan yang keji sekaligus
menjijikkan. Menurut saya, karya-karya M. Shoim Anwar memiliki daya jual yang
tinggih. Bagaimana tidak, kelima cerpen tersebut dapat dianggap sebagai karya
yang begitu ekspresif dan mahal.
Kumpulan Cerpen Karya M. Shoim Anwar
dapat diakses melalui:
Komentar
Posting Komentar