Memaknai Bentuk Kegelisahan dalam 3 Puisi Karya Mashuri
Ketika menilik lebih dalam lagi
sajak-sajak Mashuri dengan judul; Hantu
Kolam, Hantu Musim, dan Hantu Dermaga
memiliki sisi ambiguitas dari masing-masing karyanya. Hal tersebut menimbulkan
sifat yang menjadikan pembaca bertanya-tanya tentang maksud dari karya sastra
tersebut. Bagaimana tidak, jika ditinjau dari judulnya saja memiliki keunikan
dengan kata “Hantu.” Ada apa dengan sajak tersebut? Apakah memiliki sisi
misteri dari makna yang akan diungkapkan? Simbol “hantu” apabila diterangkan
secara umum memiliki arti sebagai sosok yang absurd. Oleh sebab itu perlu
adanya ketelitian dalam menikmati sajak-sajak karya Mashuri ini.
Sebagai penikmat sastra, ketiga sajak
tersebut dapat dikatakan memiliki kontradiktif dengan makna yang ditangkap
pembaca. Sebenarnya penyair memiliki maksud atau tujuan tersendiri dari
sajak-sajak yang dihasilkannya. Ia berusaha menyampaikan perjalanan tentang
kehidupannya yang memiliki kerisauan mendalam. Namun ia berhasil mengemas
sajak-sajak tersebut dengan absurd sehingga sulit untuk dipahami oleh pembaca
awam. Bentuk kerisauan yang dihadapi tokoh “aku” dalam ketiga puisi tersebut
diungkapkan sebagai kehampaan hidup.
Nuansa mistis yang diungkapkan penyair
seperti menghubungkan kegelisahan hidup dengan spiritual alam semesta. Kondisi
alam dan keberadaannya mengenai situasi sekarang dan nanti merupakan misteri.
Tidak ada yang tahu wujud dari kehidupan hari esok ataupun nanti. Semua itu
tidak dapat dijangkau atau ditebak berdasarkan akal dan nalar. Mungkin dari
pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa penyair ingin membuka pikiran
pembaca untuk meninjau kembali kehidupan keadaan saat ini.
Pada puisi pertama dengan judul Hantu Kolam, sebagai sudut pandang
pembaca saya dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya tokoh “aku” mendapati
kegelisahan setelah berbuat kesalahan yang entah mungkin hal tersebut sangat
mencekam baginya hingga tertanam dan selalu terngiang-ngiang di dalam benaknya.
Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan bait di bawah ini.
“plung!”
aku
pernah mendengar suara itu
tapi
terlalu purba untuk dikenang sebagai batu yang jatuh
kerna
kini kolam tak beriak
aku
hanya melihat wajah sendiri, berserak
Berdasrakan uraian kutipan bait di atas
mengandung makna bahwa tokoh “aku” mungkin telah berbuat kesalahan atau dapat
juga dikatakan ia mengalami trauma yang mencekam. Kutipan kata “plung!” dalam bait tersebut
menggambarkan bahwa hal tersebut merupakan sebuah tanda hingga membuatnya
kembali mengenang masa lalu yang sebenarnya ia sendiri tak ingin mengenangnya
lagi. Hal itu terjadi secara alami sehingga ia tak dapat melepaskan kehendak
Tuhan. Mungkin inilah sebuah peringatan dari-Nya yang harus diterima dan
dijalani bahwa memang benar manusia tidak ada yang suci.
Berbeda dengan puisi kedua yang berjudul
Hantu Musim. Sebagai sudut pandang
pembaca saya dapat menyimpulkan bahwa tokoh “aku” dalam puisi ini telah
mengalami kegelisahan setelah ditinggal oleh seseorang yang sangat berkesan di
dalam hidupnya. Ia mengalami kesepian padahal dirinya selalu berkorban penuh
untuk memberi rasa nyaman kepada seseorang tersebut. Hal ini dapat dilihat dari
bait kedua dan ketiga.
Pada bait kedua mengungkapkan bahwa
tokoh “aku” tak masalah untuk menyia-nyiakan hidupnya demi seseorang yang
sangat berkesan tersebut. Ia rela menjadikan dirinya sebagai apa saja karena di
situlah dirinya kembali mengenal cinta. Hal tersebut dapat dilihat dari uraian
bait berikut ini.
bila
aku hujan, itulah warta kepada ular
sawah hasratku,
yang tergetar oleh percumbuan
yang kelak kita
sebut sebagai cinta, entah yang
pertama atau
keseribu, kerna di situ, aku mampu
mengenal kembali
siki, lingkar, bulat, penuh
Namun, hal tersebut tak dapat meyakinkan
bahwa tokoh “aku” adalah sosok yang dapat dipercaya sehingga ia ditinggal
begitu saja. Bentuk pernyataannya ternyata sia-sia karena hal tersebut
merupakan sebuah cakra baginya. Apakah semua itu termasuk pernyataan yang
berlebihan? Hingga dirinya sulit membedakan rasa kesal dan rapuh. Rasa kesal
karena dirinya salah dan rapuh karena tak lagi dinilai. Bagaimana tidak, buah pengorbanannya tak
dihiraukan. Kini ia hanya menggerogoti sepi yang terus berkelanjutan. Hal
tersebut dapat dilihat dari uraian bait berikut ini.
di
situ, aku panas, sekaligus dingin
sebagaimana
unggas yang pernah kita lihat
di
telaga, tetapi bayangannya selalu
mengirimkan
warna sayu, kelabu
dan
kita selalu ingin mengulang-ulangnya
dengan
atau tanpa cerita tentang musim
yang terus
berganti...
Berbeda lagi dengan puisi yang ketiga
berjudul Hantu Dermaga. Berdasarkan
sudut pandang sebagai pembaca saya dapat menyimpulkan bahwa puisi tersebut
memiliki makna yang mendalam yakni kegelisahan tentang ketiadaan. Berbeda
dengan puisi pertama dan kedua, puisi Hantu
Dermaga lebih mengungkapkan rasa kesendirian yang utuh. Hal ini dapat
dilihat dari penggalan bait berikut ini.
tapi
ritusmu bukan jadwal hari ini
dalam
kematian, mungkin kelahiran
kedua
segalanya
mengambang
bak
hujan yang kembali
meski
pantai
telah
berpindah dan waktu pergi
menjaring darah
kembali
Berdasarkan uraian bait tersebut
mengandung makna bahwa tokoh “aku” merenungi kejadian nanti atau esok tidak
dapat ditebak bahkan saat kematian tiba. Segalanya bersifat mengambang, entah
bagaimana bentuknya semuanya mengalir secara alami karena sebagai manusia kita
hanya mampu menerima dan menjalankan. Puisi Hantu
Dermaga ini lebih menonjolkan segi spiritualitas tentang perenengungan
bentuk ketiadaan.
Dari ketiga puisi karya Mashuri di atas,
dapat disimpulkan bahwa mengandung makna kegelisahan akan kegagalan hidup,
keresahan sebuah cinta kasih, dan sebuah ketiadaan. Penyair mengajak pembaca
untuk menikmati dan merasakan sendiri bahwa setiap keganjilan mengenai
kehidupan memang nyata adanya. Penyair juga sangat cerdas dalam mengolah
kalimat per kalimat hingga menyentuh pembacanya. Oleh sebab itu, kita
seolah-olah juga merenungi kehidupan kita dalam mengenal luka, kegagalan, dan
menyiasati bentuk kematian.
Sayangnya dalam penggunaan diksi,
penyair justru memilih kata-kata yang tidak umum sehingga sebagai pembaca awam
akan mengalami kesulitan dalam memahaminya. Bentuk-bentuk tersebut berupa; buritan, mantram, pandulum, cenayang,
tertambat, dan ritusmu. Namun,
hal tersebut sebenarnya memang dipilih oleh penyair agar karyanya benar-benar
bersifat puitik. Tak hanya itu, puisi Mashuri memang memiliki sisi ambiguitas
sehingga pembaca harus benar-benar jeli dalam mencerna setiap bait hingga
lariknya. Hal tersebutlah yang
menjadikan daya jual tinggi sebuah karya sastra.
Secara keseluruhan, ketiga puisi Mashuri
ini memang layak bersaing dengan karya sastra lain sebab selain memiliki
kepuitikan, puisi tersebut juga memiliki pesan moral yang mendalam bagi
pembacanya. Setiap makna dalam puisinya mengandung ekspresi manusia dalam
menjalani keberlangsungan hidupnya.
Semua makna yang terkadung nyata, oleh karena itulah dapat menjadikan manusia
untuk berkaca dan berusaha mengubah dirinya untuk menjalani kehidupan yang
telah digariskan oleh Sang Pencipta.
Puisi Karya Mashuri dapat diakses melalui:
https://puisikompas.wordpress.com/tag/mashuri/
Komentar
Posting Komentar